Rabu, 29 Oktober 2014

Berhenti

Pagi ini kuputuskan untuk berhenti menaruh harap. Berhenti meminta merengek pada Tuhan, agar bisa dihadapkan dengan lelaki yang hampir seumur hidup, kurindukan. Berhenti berharap suatu saat aku bisa dihadapkan dengan lelaki yang kubutuhkan selalu ada menjagaku. Aku tidak akan meminta apapun lagi dari Tuhan. Tak ingin berusaha lagi mencari. Tuhan pun pasti lelah dengan pintaku yang itu-itu saja. Sampai matipun tidak akan bisa aku bertemu dengan dia yang sangat ingin ku peluk dan ku panggil 'Papa'. Aku perlahan melatih diriku untuk tidak menangisi dia yang bahkan tidak tahu aku masih ada atau tidak. Aku tidak akan berbalik membenci dia, tidak. Hanya saja, keberadaannya sudah kuanggap tiada. Membuatku tersadar, dan belajar. Bahwa hidup itu perihal kesakitan dan tentang banyak hal yang tak bisa kau miliki seutuhnya, saat berharap dan berusaha tak lagi bisa memberikan jawaban yang kamu inginkan.

Selasa, 24 Juni 2014

Mengejarmu

Sudah seratus hari sekian aku tidak pernah melihatmu. Sama sekali tidak tahu kabarmu. Seperti apa rupamu? Adakah kumis tipis bertengger disana? Atau selalu kamu cukur saat penampilanmu kau rasa sudah tidak memukau lagi? Entah sampai kapan kamu tidak ingin melihat wajahku. Sekian juta doa yang kurapalkan pada semesta agar kau datang mencariku, menemuiku. Tidak juga ada tanda-tanda kau ingin menemuiku. Aku takut mencarimu lagi. Takut akan kata-katamu yang akan merobekku lagi.

Sampai aku harus berlari ke kediaman Dewi Anjani, mencoba melawan egoku sendiri untuk meraihnya. Mendaki gunung yang sudah ratusan tahun menjadi rumah nyamannya. Disana, tempat tinggi yang menurutku bisa lebih dekat dengan semesta. Yang pikirku, semesta bisa lebih mendengar pintaku. Sungguh-sungguh kurapalkan doa untukmu, berharap kamu pun merindukanku, dan segera mencariku.
Lagi-lagi, tidak juga restu diberikannya padaku. Sekian ratus hari membendung rindu. Kamu pikir aku lelah? Tidak. Tidak akan. Yang pasti, aku harus menemuimu walau harus dihadapkan dengan penolakan dan muram wajahmu.

Sama seperti saat pertama aku bertandang ke kediamanmu. Debar dadaku sangat sulit kusuruh tenang. “Sebentar lagi sampai”. Kata-kata itu berulang terucap sebagai penenang saat memasuki gang rumahmu. Kulihat pagar dan pintu rumah terbuka. Aku masuk, masih dengan tangan dan bibir yang bergetaran. Entah mengapa ini terlihat berlebihan sekali. Kulihat adik perempuanmu berdiri mematut dicermin.
“Alga, mana?”
“Sudah berbulan-bulan dia pergi.”
“Kemana? Kapan kembali lagi?”
“Tidak akan pulang sebelum menemukan apa yang dia cari”.

Apa? Apa yang kamu cari? Kebingungan membawaku kekamarmu. Kamar yang dulu penuh cerita. Semacam ada pemutar video otomatis didalamnya. Semua cerita yang pernah terekam dikamar ini, muncul. Satu-persatu menari-nari. Sungguh menyesakkan. Mataku menelanjangi isi kamarmu. Masih sama seperti dulu. Ah, ada yang berubah. Namaku dan namamu, yang dulu kutulis di tembok dekat kasurmu, supaya sebelum dan sesudah tidurmu, kamu bisa melihat nama itu, agar selalu ingat akan kita setiap harinya, sudah tidak ada. Tubuhku bergetar pelan. Bulir hangat tumpah. Aku terlalu banyak berharap untuk bisa menemuimu hari ini. Sangat berharap agar semesta kali ini saja mau memberikan restunya padaku.

Terdengar suara ribut-ribut dari luar. Kubersihkan wajahku untuk mencari tahu ada apa. Beberapa mobil sudah bertengger didepan rumah. Ibumu keluar dari kamar tergopoh-gopoh. Sama sekali tidak menyapaku yang kembali mematung di sebelah adikmu.
“Ayo, sudah cantik. Kakakmu pasti akan pangling kalau kamu terlalu cantik seperti ini.”
“Kakakmu? Kakak siapa?”
Setahuku, hanya kamu, Alga, satu-satunya kakak yang dia punya
“Ludia, kakak yang mana?!”

Dia tidak memedulikanku yang baru saja memekik. hanya menatap, lalu melenggang pergi. Entah siapa yang menggerakkan langkahku, akupun segera mengikuti mereka dari belakang. Kata-kata Ibumu tadi, terngiang lagi.
“Mereka akan menemui Alga!” Teriakku.
Oh Tuhan, Ludia, mengapa kamu pun menghalangiku untuk bertemu dengan kakakmu? Satu jam perjalanan tidak terasa akibat kepalaku yang terlalu banyak menebak-nebak. Mulai memasuki gerbang pekarangan. Aku terdiam membaca tulisan yang tertera. Semua hal yang tidak baik mulai memenuhi kepalaku. Kuikuti mereka yang keluar dari mobil. Ramai sekali disana. Mungkinkah itu dia? Tidak mungkin! Mataku tak bisa kubendung lagi. Sesak dadaku sampai sulit bernafas. Tibalah aku bersama mereka didepan Alga. Aku mulai menangis sejadi-jadinya.
“Kak, hari ini hari seratusmu. Bagaimana disana? Bahagiakah kakak dengan kak Wilvy? Pencarianmu tidak pernah sia-sia, kak. Aku merindukanmu” isak Ludia dalam katanya.
Aku ingin merangkulnya, tapi lengan Ibumu sudah melingkar padanya.
Tunggu, dengan kak Wilvy? Aku? Ada apa ini sebenarnya. Mataku tak sengaja terlayang pada makam disebelah Alga. Tertera namaku dengan jelasnya. Namaku, dan namamu. Tanggal yang berbeda.

Sabtu, 14 Juni 2014

Girang

Aku gadis yang paling bahagia malam ini. Es durian di tangan kanan, dan tanganmu menggenggam tanganku yang satunya. 'Setelah ini, apa?' tanyamu. 'Susu KUD batuuu' sahutku dengan girang seperti anak kecil yang diberi gulali saat berhasil menyelesaikan tugasnya untuk menjadi anak baik sepanjang hari ini. Susu KUD itu adalah susu sapi murni khas kota Batu, Jawa Timur. 'Habiskan dulu es'nya, baru ke sana'. Sungguh hari ini aku kekanakan sekali. Akibat menangis semalaman, kamu berjanji untuk memenuhi segala inginku untuk seminggu kedepan, agar wajahku tidak membengkak karena terlalu sering menangis. Aku wanita tidak tahu diri jika aku tidak menyambut tawaranmu dengan sukacita. Aku wanita yang paling beruntung, karena Tuhan memberitahuku bahwa ternyata masih ada yang menyayangiku. Kamu tidak perlu menjadi siapa-siapaku, untuk menyenangkanku. Seperti ini saja aku sudah sangat bahagia. Seperti ini saja agar aku tidak harus bersedih jika kehilangan lagi, nantinya. Kamu tidak banyak bicara. Tapi selalu bisa membuatku tergugu dengan perlakuanmu. 'Mengapa kamu tidak menjadi Ayahku saja?' Gumamku dengan nada yang hampir tak terdengar. 'Iya, aku akan menjadi ayah. ayah dari kandunganmu ini'. Lagi-lagi aku harus menarik nafas panjang. Bodoh!

Senin, 09 Juni 2014

Sisa

Apa ada lelaki yang mau menerima semua sisi dan ‘sisa’ dari wanitanya?
Beberapa mengatakan, ada. Banyak. Tapi apa dari mereka yang mengiyakan itu benar-benar menerima, dan berjanji untuk tidak meninggalkan? Pikirku, tidak banyak yang bisa berjanji untuk tidak meninggalkan. Sulit memang. Dan, ya. Orang yang benar-benar menerima itu akan dikira tidak punya otak. Seakan wanita lainnya sudah habis. Seakan mereka tidak bisa mendapatkan wanita yang lebih layak lagi. Dan beberapa pula akan kembali menuding si wanita dengan sisa yang dia miliki. Sudah sepantasnya dia mendapat lelaki yang memang tidak bisa sungguh-sungguh menerimanya. Salah sendiri tidak bisa menjaga diri, salah sendiri mudah sekali memberi seluruhnya sehingga hanya sisa yang dia miliki. Salah sendiri terlalu memercayai lelaki yang belum tentu bisa tetap tinggal dengannya. Dan bagaimana jika si wanita itu yang memang tidak pantas untuk dipertahankan? Bagaimana jika si wanita yang dengan sisa yang dia miliki itu juga tidak tahu diri? Entahlah, mungkin memang sudah sepantasnya wanita dengan sisa tak pantas memiliki dan dimiliki.

Selasa, 03 Juni 2014

Perpisahan

Kita yang dulu pernah satu, kini memecah. Berpindah tempat. Berlainan haluan. Meninggalkanku untuk mencari bahagia yang lainnya. Beberapa janji, tak lagi bisa ditepati. Beberapa mimpi yang diidam-idamkan berdua, kina hanya menjadi mimpi tanpa arti, tanpa wujud. Ohh, betapa hati sangat tertoreh akibat pintamu ini. Tidak terima dengan kenyataan, terlalu merasa tersakiti, karena terlalu mencintai, entah kata apa lagi yang bisa kuungkapkan. Sepertinya aku harus mengasingkan diri.
Tidak ada yang menyenangkan dalam perpisahan. Tidak ada yang bisa menahan pergimu. Salahmu mendua, salahmu menyesatkan diri. Andai bisa, aku tidak ingin menyakiti siapapun. Jika saja kamu bisa tetap tinggal, jika saja kita masih bisa bersama. Perpisahan itu pahit, dan aku tidak bisa menelannya lamat-lamat. Jika saja bisa, sejak awal aku tak ingin mengenalmu.
Kamu paling tahu aku, katamu. Kamu juga pasti tahu, aku masih mencintaimu. Tetap mencintaimu saat kamu sengaja menyibukkan diri dengan duniamu untuk menghindariku. Masih mencintaimu walau harus dibentak karena aku yang mungkin terlalu bodoh untukmu, masih mencintaimu bahkan saat aku tahu, aku bukan lagi wanita yang bisa menyenangkanmu. Masih mencintaimu walau berkali-kali kakimu beranjak ingin menginggalkan aku. Masih mencintaimu walau berkali-kali juga kamu mengatakan kamu membenciku dan tidak mencintaiku lagi. Kamu juga sudah pasti tahu, kenapa aku semenyedihkan ini saat ditinggal pergi olehmu.
Tak apa. Aku perlahan harus bisa menerima kenyataan kamu sudah tak cinta lagi dan tidak ada alasan untuk kamu kembali lagi. Semua sudah diatur oleh semesta.
Berbahagialah, aku tahu kamu selalu bisa bahagia tanpa aku mengitari hidupmu. Kamu sangat merelakan, dan aku sangat menyayangkan.
Semesta bersamamu, sayang. Selamat pergi. Aku akan mengobati diri dengan segera. Bahagiaku pasti ada pada orang yang selain kamu. Walau aku sedikit agak ragu.

Minggu, 01 Juni 2014

Mengintip

Jarakku denganmu kini hanya beberapa hasta. Tinggal menapakkan kaki beberapa langkah, aku sudah berdiri di depanmu. Tapi tak kulakukan. Entahlah. Aku yang terlalu rindu ingin melihatmu tak berani menyapamu. Tak berani muncul dihadapanmu. Tidak siap akan wajah muram yang kau suguhkan nantinya. Mengintip dari balik sela-sela pintu. Menunggu kamu beranjak dari kursimu. Sungguh aku merindukanmu. Ingin aku berlari kearahmu dan mendekapmu kemudian segera pergi sebelum mendapat penolakan darimu. Menyedihkan sekali harus memendam rindu yang setiap hari harus ku bawa kemana-mana. Semakin menggunung entah bagaimana harus menghabiskannya. Entah bagaimana membuangnya. Andai aku bisa sebahagia kamu yang tidak pernah memikirkan sedikitpun tentang kehilangan.

Minggu, 25 Mei 2014

Mendesak

Tulisan ini, kutulis atas desakan rindu yang sangat sulit terbendung. Memenuhi kepalaku sampai sulit berpikir dengan baik. Mengapa kutulis? Mengapa tidak disuarakan? Mengapa tidak diutarakan?
Jadi begini, sekian puluh hari, kita tak pernah bertatap lagi. Sekian belas hari, suaramu tak pernah kudengar lagi. Bahkan bayangmu, sudah tak lagi mengikuti kemanapun aku. Bagaimana cara aku mengungkapkannya?
Dadaku sesak karena rindu yang berisik sekali, mendesak dan beranak-pinak menyuruhku mencari dimana kamu berpijak untuk berbisik “Aku merindukanmu setengah mati”.
Jarak kita menyesakkan. Tuhan pun mungkin muak karena pintaku padanya selalu hal yang sama. Aku menantikan keajaiban Tuhan untuk mempertemukan kita. Jika bisa, mempersatukan kita kembali. Apakah doaku sangat tidak memungkinkan untuk dipenuhi? Apa aku tidak pantas untuk keajaiban yang kuminta tersebut? Aku hanya memantaskan diriku dihadapan-Nya seperti manusia lainnya. Masakan ada patokan untuk menerima sebesar apa keajaiban yang akan menimpaku nanti?
Aku berharap, tetap berharap kamu kembali membisikkan “Aku pulang” ditelingaku yang sungguh lelah membendung rindu padamu.

Menyebalkan

Untukmu, seseorang wanita yang sangat-sangat menyebalkan.
Pernah, aku pernah sangat memahami isi kepalamu. Sangat hapal semua tingkah lakumu terhadapku. Namun sekian ratus hari yang kita habiskan bersama, tak pelak membuatku semakin mengenalmu. Kamu semakin lama semakin menjengkelkan. Kamu mulai merusak tata surya yang susah payah kuciptakan. Kamu mulai memaksa ingin masuk ke semestaku. Memaksa diri untuk menenggelamkan diri dikepalaku. Tidak, kamu tidak akan pernah meraihku. Aku menyayangimu, sedikit. Kamu tidak akan pernah bisa jadi inti dari semestaku. Semakin kesini, hal-hal sederhana menjadi sangat rumit karenamu. Cerita ini harus segera disudahi. Bukan salahmu, jika semua harus kita sudahi. Bukan salahku juga karena aku tak lagi nyaman denganmu. Aku menyudahi karena tidak ingin berlama-lama merusak hatimu. Tak ingin melihatmu berkali-kali terisak. Tak ingin mendengar rengekanmu setiap hari. Maaf karena aku terlalu cepat melepas. Maaf untuk semua kenangan yang menurutmu sangat indah. Maaf atas semua tawa yang tak akan bisa ku ukir diwajahmu lagi. Hal pahit harus kamu telan mentah-mentah. Kamu harus belajar bahwa hidup tak melulu menyenangkanmu dan egomu. Kuharap setelah ini tak ada lagi keluhan darimu yang memenuhi kepalaku setiap harinya. Pergilah, carilah bahagiamu sendiri. Kamu akan baik-baik saja.

Minggu, 18 Mei 2014

Lagi

Sekian ratus hari yang telah kita habiskan bersama. Aku tidak perlu berbohong atas rasaku terhadapmu. Kau bisa melihatnya sendiri.
Kau tahu, jika aku tidak pernah rela melepasmu.
Kau tahu, jika setiap malam aku masih memimpikanmu.
Kau tahu, aku masih merindumu.
Kau tahu, aku selalu menunggumu.
Kau tahu, jika aku terlalu memaksakan diri untuk mencari bahagia lain selain kamu.
Kau tahu, aku selalu menginginkanmu kembali.
Tidak ada yang bisa menyembuhkan, tidak akan ada yang bisa membuatku merelakan. Tidak akan ada yang akan bisa membuatku jatuh seperti aku jatuh padamu. Tidak akan. Ahh, mari berpikir yang baiknya saja. Belum. Belum ada. Belum ada yang bisa sepertimu.
Berkali ku katakan, kau semestaku, penguasaku, nadi, penggerak dan penghenti semua pekerjaan hatiku. Aku sudah tak ada harganya lagi dihadapmu. Kau tahu, aku bukan wanita kuat seperti pertama kau mengenalku dulu. Aku wanita yang selalu menunggumu menghampiriku dan berbisik bahwa kau tak akan kemana-mana, bahwa kau akan segera pulang, bahwa apa yang menjadi penantianku tidak terbuang tanpa arti.
Kau tahu, denganmu, hal-hal sederhana bisa jadi sangat istimewa. Denganmu, bisa ku rasakan bahagia sebahagia di surga. Terbangun dan tertidur karena lelah dihantam rindu padamu. Semua menyenangkan.
Aku tak ingin jauh, tak ingin yang lain mengisi bahagiamu. Kita masih saling mencintai, bukan? Kenapa tidak kita coba saja lagi? Aku berjanji akan menjadi lebih penurut, akan ku kurangi rengekanku yang menyebalkan. Mari ingat semua bahagia saat kita bersama-sama. Mari bersama lagi, tanpa harus menyakiti. Aku perempuanmu akan berjuang lagi sebisaku, untuk membahagiakanmu.

Patah

Aku punya ketakutan yang baru. Ketakutan penerimaan atas perpisahan kita. Kau memiliki kekuatan yang terlalu berlebihan untuk mencabikku. Habis-habisan aku disakiti, olehmu yang terlalu ku cintai. Salahku, memang, yang meminta bahagia terlalu berlebihan dan tidak ingin menerima sedikitpun perih yang sesekali tertoreh. Tentang ketakutan akan penolakan. Karena katamu tidak bisa lagi aku dipercaya dalam urusan percintaan. Dan ku niatkan, jika kini aku ditawari rasa yang serupa dengan rasa saat pertama kau menghampiriku, aku tidak akan menerimanya. Aku takut tak bisa berhati-hati, dan menyebabkan retak lagi potongan hati yang sebelumnya sudah hampir hancur.
Pada awalnya, berkali bahagia selalu berkumandang, membuat semesta iri melihat kita. Namun sejak airmata sering tertumpah karenamu, aku tahu, kau bukanlah orang yang diberikan Tuhan untuk menemukanku. Kau hanya menjadi peretak hatiku. Percayaku tidak pernah penuh padamu, setengah pun tidak.
Aku harus mengasingkan diriku, aku tidak ingin dicintai oleh siapapun. Aku harus membanting pintu menguncinya rapat-rapat dan menyembunyikan kuncinya dibalik bantalku.
Luka ini ku anggap sebagai rasa yang akan mengekal. Cintaku, tidak akan pernah kubiarkan muncul kepermukaan. Ia hanya akan semakin membuatku lemah, dan Ia pula yang akan membuat orang yang mencoba-coba untuk mencintaiku retak hatinya.
Tak ingin aku salah melangkah. Karena kau pernah membuatku sangat patah. Tak tersembuhkan. Seumur hidup tak menjadi jaminan. Aku tak pantas lagi menerima, dan diterima.
Aku tidak akan pernah bisa membereskan ruangan yang penuh luka karenamu untuk mempersilahkan penghuni baru lagi, kalau-kalau mereka menghampiri. Oh, aku lupa. Tidak akan ada yang bisa masuk, tidak akan ada yang bisa menemukan kuncinya.
Aku merangkak, menyeret diri beserta patahan-patahan bahagia karenamu. Ingin menyembuhkan diri, tapi sangat ku sayangkan jika patahan itu meninggalkan ragaku. Patahan itu yang menemani aku, saat rindu sangat mengoyak hati. Kepalaku, berontak ingin melepasmu. Tentang beberapa peristiwa patahnya hatiku, yang tak akan pernah bisa ku usir, tak akan pernah bisa ku relakan.
Aku berkali-kali mencari bahagia untuk kepalaku sendiri, yang kemudian baru kusadari, bahwa semua itu hanya penyangkalan atas kesendirian yang akhirnya harus ku telan mentah-mentah. Tentang malamku yang tidak akan mendengar suaramu lagi.
Lucunya, sekian ribu patahan yang kau torehkan. Cintaku masih mengental padamu.

Sembunyi

Apa setiap malam kamu sembunyi dibalik bantalku?
Lalu kemudian saat aku terlelap, kamu menyelinap masuk ke mimpiku.
Aku masih selalu memimpikan kamu.
Dan saat terjaga, mataku tak mampu membendung mendung yang menggantung di kelopak.
Mendapati hanya aku dan anganku.
Temu, tak bisa ku rengkuh lagi, pun aku merengek memekik.
Tak apalah.
Bertemu kamu, di mimpi, tak pernah ku anggap sebagai bunga tidur.
Itu cara Tuhan mempertemukan aku denganmu, mungkin(?)

Rabu, 14 Mei 2014

Hujan

Langit sepertinya sedang kecewa.
Lihatlah dia menumpahkan isi kepalanya.
Lewat hujan dia menyuarakan perihnya.
Meruahkan segala tangis dan teriakan-teriakan.
Langit habis dikhianati oleh semestanya, mungkin(?)

Kalau kamu, yang ku cari saat hujan menumpahkan resahnya.
Maka kamu, orang penting di hidupku.
Aku akan memberi apapun itu agar tidak sendirian mendengar suara hujan yang berlomba-lomba menyakitiku.
Aku akan menukar apapun untuk tetap diam didekapmu saat hujan menari-nari dikepalaku.
Aku akan melakukan apapun yang bisa menenangkanku saat hujan berdesakan membuatku sulit bernafas.

Kita pernah tenggelam dalam riuhnya kecipak hujan.
Sekarang, hujan kembali menunjukkan keangkuhannya.
Menyerangku sendirian yang sudah tanpamu.
Apa yang harus ku lakukan?

Aku pantas mendapatkan semua ini.
Tidak ada tempat untuk ku berlari.
Sebelum ada kamu pun aku sudah terbiasa ditikam oleh suara hujan itu sendiri.
Memintamu kembali, sama seperti meminta hujan untuk turun tanpa suara.

(Malang, 14th May)

Selasa, 13 Mei 2014

Penguasa

Apa jadinya jika semesta kehilangan kekuasaannya?
Apa jadinya jika semesta kehilangan penguasanya?
Dan apa jadinya jika sebuah negara tidak memiliki penguasa?
Akan sangat berantakan sekali, bukan?
Bumi rusak, bumi hancur.
Peperangan terjadi sana sini.
Tidak ada damai. Tidak ada ketenangan.
Aku kehilangan penguasaku.
Bisa bayangkan bagaimana aku sekarang?

Mendung

Jenuh, keluhmu.
Keluarlah sejenak dari kepalaku kalau begitu,
tapi jangan jauh-jauh, nanti kau terhanyut dengan kehidupan indah lainnya diluar kepalaku.

Sembari berjalan-jalan, aku menantimu disini.
Mencoba bersahabat dengan rindu. Belajar meyakini apa yang ku nanti.
Ketahuilah, setelah lima ratus sekian hari,
bahagia dan rinduku masih berlomba-lomba menari-nari.

Semakin membuncah tiap harinya.
Tak pernah sedikitpun berkurang.
Aah, kau sungguh semesta kesayanganku.

Sampai kau mengenal pedang dan belajar bagaimana menggunakannya.
Berkali-kali, kau tikam aku.
Kau robek kepalaku dengan pedang itu,
Hanya untuk melepaskan diri dari kepalaku.

Meski dengan jumawa kau tinggalkan aku,
Meski saat kau temukan bahagia diluar kepalaku,
Aku tidak mati, tidak akan, sayang.
buncahan rinduku terhadapmu tidak akan hilang.

(Malang, 13rd May. Ditulis dengan mata mendung dan cuaca yang mendung.)

Kamis, 08 Mei 2014

Kutu

Kamu tahu kutu? Iya, itu kamu.
Kecil kayak upil tidak beraturan berantakan.
Datang-datang bikin gatel, trus seenaknya pergi ninggalin luka.
Lukanya perih, membekas ga bisa hilang pula.
Kalo ga membekas ya gapapa.
Kamu kutu. Kutu busuk.

Senin, 05 Mei 2014

Tunggu

Tuan, jarak kita semakin jauh. Sepanjang dosamu dan dosaku.
Entah berapa hasta panjangnya. Tak terhitung, tak terkira.
Tuan, air mata sudah tidak menggantung lagi dikelopak.
Tak perlu ku tunggu tumpahannya menyusuri wajah muramku.
Doa baik selalu terpanjatkan untukmu.
Aku inginkan pulangmu, sebab kehilangan mulai mengusik kepalaku.
Rindu sangat menyesakkanku.
Memaksa raga untuk pergi mencarimu.
Babak belur dadaku dibuatnya.
Namun seperti katamu, ‘Tunggu’.
Aku disini untukmu, karena aku tidak tahu harus kemana.
Takut tersesat karena peta pulangku ada di kamu.
Kuselipkan diam-diam ditengkukmu.
Semoga bisa kau temukan saat kau mulai tersesat dan rindu pulangmu.

Jumat, 02 Mei 2014

Mendua

Tentang aku, yang berani mendua. Mendua hati, dan raga.
Tentang kekasihku, yang selalu sibuk dengan isi kepalanya, dan dengan hidupnya sendiri.
Tentang kekasihku yang lainnya, yang selalu ingin bersamaku, sangat menginginkanku.
Sehari menghabiskan waktu bersenang-senang dengan dua wanita berbeda.
Sehari bercinta dengan dua wanita yang berbeda.
Tentang aku yang tidak bisa memutuskan harus menetap pada siapa.
Dan tentang aku yang pada akhirnya harus memilih, wanita mana yang pantas mendampingi aku.
Ahh, serakah sekali. Sesungguhnya aku yang tidak pantas didampingi mereka.
Bisakah mereka berdua ku pilih? Bisakah dua-duanya ku miliki?

Sabtu, 19 April 2014

Pergi

Dia yang selama ini ku kira rumahku, ternyata bukan.
Sama sekali dia bukan tempatku pulang.
Bertahun memaksakan diri, bahwa dialah pulangku, dia tempat ku larungkan segala penatku.
Rumah yang ku kira bisa membuatku selamanya merasa aman dan.. nyaman(?) ternyata bukan dia.
Seringnya membuatku tidak betah hingga meninggalkan rumah.
Sesekali dia pun mengusirku.
Dia tidak tahu bagaimana cara membuatku nyaman didalamnya.
Tidak bisa menjanjikan ketenangan saat aku didalamnya.
Tidak bisa, dia tidak bisa menjanjikan apa-apa.
Sedari awal pun sudah dia katakan, bahwa dia tidak bisa menjanjikan apapun.
Aku yang bodoh, tetap tinggal didalamnya, berharap suatu saat aku pasti bisa nyaman dengan sendirinya, perlahan-lahan bisa dibikin nyaman olehnya.
Harapanku sudah sampai puncaknya, penantianku sudah menemui ujungnya.
Sedih rasanya harus meninggalkan dia, orang yang pernah kuanggap menjadi rumah ternyamanku.
Apa akan ada rumah nyaman lainnya? Entahlah.
Mari kembali mengembara..

Rabu, 16 April 2014

Curang

Aku sudah keluar jalur, sayang.
Dan kamu tahu itu. Kepura-puraanmu menyiksaku. Bersikap seakan tiada cela yang kulakukan.
Malah semakin manis perlakuanmu padaku. Aku dihantam kebimbangan.
Bersikap demikian untuk membawaku pulang kembali kerumah,
Atau ini caramu menyenangkan hatiku kemudian kau hancurkan?
Ingin menyakti aku lebih dari apa yang telah ku perbuat padamu?
Pulangku masih tertuju padamu. Kamu rumahku. Kamu penguasa atasku.
Pun dia jauh lebih baik darimu, dan bisa menjanjikan apapun yang tidak bisa kau janjikan padaku,
Aaaah, pada akhirnya kita semua akan pulang kepada dia yang bersedia menerima.

Kamis, 27 Maret 2014

Kepala

Berapa kali sudah kau dibunuh oleh kepalamu sendiri?
Dan berapa kali pula kau menyurukkan dirimu untuk dibunuh oleh kepalamu sendiri?
Lantas, bisakah bahagiamu kau jemput?
Terus sajalah dikendalikan oleh kepalamu.
Kepalamu itulah yang menghambat bahagia merengkuhmu.
Kepalamu jugalah yang menjauhkan mereka yang ingin membahagiakanmu.
Entah apa dulu yang kau tanamkan di kepalamu, sehingga dia menjadi begitu bedebahnya terhadapmu.
Ajak kepalamu memikirkan dan merenungkan hal yang menyenangkan,
usah memikirkan sesuatu yang bisa menghancurkan keindahan tata suryamu,
yang telah bersusah payah kau susun sedemikian rupa agar tenang semestamu.

Minggu, 16 Maret 2014

Peran

Jemari dan dadanya, adalah tempat ibadah dimana para lelaki yang mengasihinya melarungkan diri, merebahkan pulang dan menyandarkan kepala yang penat.
Tiada satu dari lelaki itu yang pernah menyangka, bahwa hatinya ternyata rumah untuk setan berpesta pora.
Memainkan peran sebagai wanita lugu yang seakan teralu sering dibodohi, sehingga semua berbondong berebut hanya untuk menjaga, melindungi dan mengasihinya.
Entah apa yang ada di kepalanya saat memainkan peran tersebut.
Dan lucunya, wanita ini tidak pernah puas dengan apa yang telah dia dapat dari perannya itu.
Padahal tubuhnya telah bermandikan kasih sayang dari berbagai lelaki sekitarnya yang selalu ingin merebut hatinya.
Tidak ada satupun dari lelaki-lelaki itu yang pernah bisa memecahkan isi kepala wanita ini.
Dan tidak ada satupun yang bisa membuat wanita ini memuntahkan isi hatinya dengan gamblang.

Kamis, 13 Maret 2014

Benci

Aku benci dengan pergimu.
Aku benci dengan keputusanmu meninggalkanku.
Aku benci harus menelan lamat-lamat kepahitan tentang aku yang ternyata bukan tempatmu pulang.
Aku bukan tujuanmu untuk pulang.
Aku benci, sebab bukan kamu lagi tempat yang selalu ingin tuju.
Aku benci bahwa rumahku sudah tidak ada lagi.
Aku benci mengapa dulu ku tetapkan kamu adalah pulangku.
Benci karena tidak memiliki tempat untuk meruahkan penat dan hiruk pikuk kepalaku lagi.
Benci karena tidak ada lagi bahu pengganti bantal dan dada hangat pengganti gulingku.
Benci karena tidak lagi nafasmu menjalari tengkukku.
Benci karena mau tidak mau harus kehujanan dan melawan hujan sendiri tanpa kamu yang datang memberi tempat teduh seperti dulu.
Benci karena di mimpiku, kamu masih ada.