Sudah seratus hari sekian aku tidak pernah melihatmu. Sama sekali tidak
tahu kabarmu. Seperti apa rupamu? Adakah kumis tipis bertengger disana? Atau selalu
kamu cukur saat penampilanmu kau rasa sudah tidak memukau lagi? Entah sampai
kapan kamu tidak ingin melihat wajahku. Sekian juta doa yang kurapalkan pada
semesta agar kau datang mencariku, menemuiku. Tidak juga ada tanda-tanda kau
ingin menemuiku. Aku takut mencarimu lagi. Takut akan kata-katamu yang akan
merobekku lagi.
Sampai aku harus berlari ke kediaman Dewi Anjani, mencoba melawan egoku
sendiri untuk meraihnya. Mendaki gunung yang sudah ratusan tahun menjadi rumah nyamannya. Disana, tempat tinggi yang menurutku bisa lebih dekat dengan semesta. Yang pikirku,
semesta bisa lebih mendengar pintaku. Sungguh-sungguh kurapalkan doa untukmu,
berharap kamu pun merindukanku, dan segera mencariku.
Lagi-lagi, tidak juga restu diberikannya padaku. Sekian ratus hari
membendung rindu. Kamu pikir aku lelah? Tidak. Tidak akan. Yang pasti, aku harus
menemuimu walau harus dihadapkan dengan penolakan dan muram wajahmu.
Sama seperti saat pertama aku bertandang ke kediamanmu. Debar dadaku
sangat sulit kusuruh tenang. “Sebentar lagi sampai”. Kata-kata itu berulang
terucap sebagai penenang saat memasuki gang rumahmu. Kulihat pagar dan pintu rumah terbuka. Aku masuk, masih dengan tangan
dan bibir yang bergetaran. Entah mengapa ini terlihat berlebihan sekali. Kulihat
adik perempuanmu berdiri mematut dicermin.
“Alga,
mana?”
“Sudah
berbulan-bulan dia pergi.”
“Kemana? Kapan
kembali lagi?”
“Tidak akan
pulang sebelum menemukan apa yang dia cari”.
Apa? Apa yang kamu cari? Kebingungan
membawaku kekamarmu. Kamar yang dulu penuh cerita. Semacam ada pemutar video
otomatis didalamnya. Semua cerita yang pernah terekam dikamar ini, muncul. Satu-persatu
menari-nari. Sungguh menyesakkan. Mataku menelanjangi isi kamarmu. Masih sama
seperti dulu. Ah, ada yang berubah. Namaku dan namamu, yang dulu kutulis di tembok
dekat kasurmu, supaya sebelum dan sesudah tidurmu, kamu bisa melihat nama itu, agar selalu ingat akan kita setiap harinya, sudah tidak ada. Tubuhku bergetar
pelan. Bulir hangat tumpah. Aku terlalu banyak berharap untuk bisa menemuimu
hari ini. Sangat berharap agar semesta kali ini saja mau memberikan restunya
padaku.
Terdengar suara ribut-ribut dari luar. Kubersihkan wajahku untuk mencari
tahu ada apa. Beberapa mobil sudah bertengger didepan rumah. Ibumu keluar dari kamar tergopoh-gopoh. Sama sekali tidak menyapaku yang kembali mematung di sebelah adikmu.
“Ayo, sudah
cantik. Kakakmu pasti akan pangling kalau kamu terlalu cantik seperti ini.”
“Kakakmu? Kakak siapa?”
Setahuku, hanya kamu, Alga, satu-satunya kakak yang dia punya
“Ludia,
kakak yang mana?!”
Dia tidak memedulikanku yang baru saja memekik. hanya menatap, lalu melenggang pergi. Entah siapa yang
menggerakkan langkahku, akupun segera mengikuti mereka dari belakang. Kata-kata
Ibumu tadi, terngiang lagi.
“Mereka akan
menemui Alga!” Teriakku.
Oh Tuhan,
Ludia, mengapa kamu pun menghalangiku untuk bertemu dengan kakakmu? Satu jam
perjalanan tidak terasa akibat kepalaku yang terlalu banyak menebak-nebak. Mulai
memasuki gerbang pekarangan. Aku terdiam membaca tulisan yang tertera. Semua hal
yang tidak baik mulai memenuhi kepalaku. Kuikuti mereka yang keluar dari mobil.
Ramai sekali disana. Mungkinkah itu dia? Tidak mungkin! Mataku tak bisa
kubendung lagi. Sesak dadaku sampai sulit bernafas. Tibalah aku bersama mereka
didepan Alga. Aku mulai menangis sejadi-jadinya.
“Kak, hari
ini hari seratusmu. Bagaimana disana? Bahagiakah kakak dengan kak Wilvy? Pencarianmu
tidak pernah sia-sia, kak. Aku merindukanmu” isak Ludia dalam katanya.
Aku ingin
merangkulnya, tapi lengan Ibumu sudah melingkar padanya.
Tunggu,
dengan kak Wilvy? Aku? Ada apa ini sebenarnya. Mataku
tak sengaja terlayang pada makam disebelah Alga. Tertera namaku dengan
jelasnya. Namaku, dan namamu. Tanggal yang berbeda.