Dia benci hujan, ya benci. Tapi, ahh tidak terlalu
benci, dia selalu berusaha berdamai dengan hujan. Hanya saja, hujan selalu mengingatkan Dia akan masa kecilnya,
malam di mana hujan menjatuhkan diri di atap rumahnya, menari bahagia sementara Dia dijamah
oleh manusia jahanam yang tidak bisa mengendalikan nafsu bejatnya bak kuda
kesetanan sehingga melampiaskan ke anak ingusan yang mulutnya dibungkam paksa
karena meronta-ronta, memukul-mukul, mencakar-cakar, melawan sekuat tenaganya,
menangis dan berteriak meminta pertolongan untuk melepaskan diri dari
kesakitan yang sangat tidak pantas dialami oleh anak kecil seperti dia. Tubuh
kecilnya sangat tidak bisa membantu Dia terlepas dari tubuh bejat itu.
Sementara hujan semakin derasnya berguguran di atap rumah. Semakin menambah
ketakutan anak kecil ringkih yang entah harus berbuat apa dan meminta
pertolongan pada siapa. Hujan tak pernah
mendengar isak tangisnya, tak pernah melakukan apapun. Tidak hanya malam
itu, malam lainnya pun sama saja, hujan selalu saja menari-nari di atap rumahnya
setiap Dia dijamah oleh pria bejat itu.