Minggu, 25 Mei 2014

Mendesak

Tulisan ini, kutulis atas desakan rindu yang sangat sulit terbendung. Memenuhi kepalaku sampai sulit berpikir dengan baik. Mengapa kutulis? Mengapa tidak disuarakan? Mengapa tidak diutarakan?
Jadi begini, sekian puluh hari, kita tak pernah bertatap lagi. Sekian belas hari, suaramu tak pernah kudengar lagi. Bahkan bayangmu, sudah tak lagi mengikuti kemanapun aku. Bagaimana cara aku mengungkapkannya?
Dadaku sesak karena rindu yang berisik sekali, mendesak dan beranak-pinak menyuruhku mencari dimana kamu berpijak untuk berbisik “Aku merindukanmu setengah mati”.
Jarak kita menyesakkan. Tuhan pun mungkin muak karena pintaku padanya selalu hal yang sama. Aku menantikan keajaiban Tuhan untuk mempertemukan kita. Jika bisa, mempersatukan kita kembali. Apakah doaku sangat tidak memungkinkan untuk dipenuhi? Apa aku tidak pantas untuk keajaiban yang kuminta tersebut? Aku hanya memantaskan diriku dihadapan-Nya seperti manusia lainnya. Masakan ada patokan untuk menerima sebesar apa keajaiban yang akan menimpaku nanti?
Aku berharap, tetap berharap kamu kembali membisikkan “Aku pulang” ditelingaku yang sungguh lelah membendung rindu padamu.

Menyebalkan

Untukmu, seseorang wanita yang sangat-sangat menyebalkan.
Pernah, aku pernah sangat memahami isi kepalamu. Sangat hapal semua tingkah lakumu terhadapku. Namun sekian ratus hari yang kita habiskan bersama, tak pelak membuatku semakin mengenalmu. Kamu semakin lama semakin menjengkelkan. Kamu mulai merusak tata surya yang susah payah kuciptakan. Kamu mulai memaksa ingin masuk ke semestaku. Memaksa diri untuk menenggelamkan diri dikepalaku. Tidak, kamu tidak akan pernah meraihku. Aku menyayangimu, sedikit. Kamu tidak akan pernah bisa jadi inti dari semestaku. Semakin kesini, hal-hal sederhana menjadi sangat rumit karenamu. Cerita ini harus segera disudahi. Bukan salahmu, jika semua harus kita sudahi. Bukan salahku juga karena aku tak lagi nyaman denganmu. Aku menyudahi karena tidak ingin berlama-lama merusak hatimu. Tak ingin melihatmu berkali-kali terisak. Tak ingin mendengar rengekanmu setiap hari. Maaf karena aku terlalu cepat melepas. Maaf untuk semua kenangan yang menurutmu sangat indah. Maaf atas semua tawa yang tak akan bisa ku ukir diwajahmu lagi. Hal pahit harus kamu telan mentah-mentah. Kamu harus belajar bahwa hidup tak melulu menyenangkanmu dan egomu. Kuharap setelah ini tak ada lagi keluhan darimu yang memenuhi kepalaku setiap harinya. Pergilah, carilah bahagiamu sendiri. Kamu akan baik-baik saja.

Minggu, 18 Mei 2014

Lagi

Sekian ratus hari yang telah kita habiskan bersama. Aku tidak perlu berbohong atas rasaku terhadapmu. Kau bisa melihatnya sendiri.
Kau tahu, jika aku tidak pernah rela melepasmu.
Kau tahu, jika setiap malam aku masih memimpikanmu.
Kau tahu, aku masih merindumu.
Kau tahu, aku selalu menunggumu.
Kau tahu, jika aku terlalu memaksakan diri untuk mencari bahagia lain selain kamu.
Kau tahu, aku selalu menginginkanmu kembali.
Tidak ada yang bisa menyembuhkan, tidak akan ada yang bisa membuatku merelakan. Tidak akan ada yang akan bisa membuatku jatuh seperti aku jatuh padamu. Tidak akan. Ahh, mari berpikir yang baiknya saja. Belum. Belum ada. Belum ada yang bisa sepertimu.
Berkali ku katakan, kau semestaku, penguasaku, nadi, penggerak dan penghenti semua pekerjaan hatiku. Aku sudah tak ada harganya lagi dihadapmu. Kau tahu, aku bukan wanita kuat seperti pertama kau mengenalku dulu. Aku wanita yang selalu menunggumu menghampiriku dan berbisik bahwa kau tak akan kemana-mana, bahwa kau akan segera pulang, bahwa apa yang menjadi penantianku tidak terbuang tanpa arti.
Kau tahu, denganmu, hal-hal sederhana bisa jadi sangat istimewa. Denganmu, bisa ku rasakan bahagia sebahagia di surga. Terbangun dan tertidur karena lelah dihantam rindu padamu. Semua menyenangkan.
Aku tak ingin jauh, tak ingin yang lain mengisi bahagiamu. Kita masih saling mencintai, bukan? Kenapa tidak kita coba saja lagi? Aku berjanji akan menjadi lebih penurut, akan ku kurangi rengekanku yang menyebalkan. Mari ingat semua bahagia saat kita bersama-sama. Mari bersama lagi, tanpa harus menyakiti. Aku perempuanmu akan berjuang lagi sebisaku, untuk membahagiakanmu.

Patah

Aku punya ketakutan yang baru. Ketakutan penerimaan atas perpisahan kita. Kau memiliki kekuatan yang terlalu berlebihan untuk mencabikku. Habis-habisan aku disakiti, olehmu yang terlalu ku cintai. Salahku, memang, yang meminta bahagia terlalu berlebihan dan tidak ingin menerima sedikitpun perih yang sesekali tertoreh. Tentang ketakutan akan penolakan. Karena katamu tidak bisa lagi aku dipercaya dalam urusan percintaan. Dan ku niatkan, jika kini aku ditawari rasa yang serupa dengan rasa saat pertama kau menghampiriku, aku tidak akan menerimanya. Aku takut tak bisa berhati-hati, dan menyebabkan retak lagi potongan hati yang sebelumnya sudah hampir hancur.
Pada awalnya, berkali bahagia selalu berkumandang, membuat semesta iri melihat kita. Namun sejak airmata sering tertumpah karenamu, aku tahu, kau bukanlah orang yang diberikan Tuhan untuk menemukanku. Kau hanya menjadi peretak hatiku. Percayaku tidak pernah penuh padamu, setengah pun tidak.
Aku harus mengasingkan diriku, aku tidak ingin dicintai oleh siapapun. Aku harus membanting pintu menguncinya rapat-rapat dan menyembunyikan kuncinya dibalik bantalku.
Luka ini ku anggap sebagai rasa yang akan mengekal. Cintaku, tidak akan pernah kubiarkan muncul kepermukaan. Ia hanya akan semakin membuatku lemah, dan Ia pula yang akan membuat orang yang mencoba-coba untuk mencintaiku retak hatinya.
Tak ingin aku salah melangkah. Karena kau pernah membuatku sangat patah. Tak tersembuhkan. Seumur hidup tak menjadi jaminan. Aku tak pantas lagi menerima, dan diterima.
Aku tidak akan pernah bisa membereskan ruangan yang penuh luka karenamu untuk mempersilahkan penghuni baru lagi, kalau-kalau mereka menghampiri. Oh, aku lupa. Tidak akan ada yang bisa masuk, tidak akan ada yang bisa menemukan kuncinya.
Aku merangkak, menyeret diri beserta patahan-patahan bahagia karenamu. Ingin menyembuhkan diri, tapi sangat ku sayangkan jika patahan itu meninggalkan ragaku. Patahan itu yang menemani aku, saat rindu sangat mengoyak hati. Kepalaku, berontak ingin melepasmu. Tentang beberapa peristiwa patahnya hatiku, yang tak akan pernah bisa ku usir, tak akan pernah bisa ku relakan.
Aku berkali-kali mencari bahagia untuk kepalaku sendiri, yang kemudian baru kusadari, bahwa semua itu hanya penyangkalan atas kesendirian yang akhirnya harus ku telan mentah-mentah. Tentang malamku yang tidak akan mendengar suaramu lagi.
Lucunya, sekian ribu patahan yang kau torehkan. Cintaku masih mengental padamu.

Sembunyi

Apa setiap malam kamu sembunyi dibalik bantalku?
Lalu kemudian saat aku terlelap, kamu menyelinap masuk ke mimpiku.
Aku masih selalu memimpikan kamu.
Dan saat terjaga, mataku tak mampu membendung mendung yang menggantung di kelopak.
Mendapati hanya aku dan anganku.
Temu, tak bisa ku rengkuh lagi, pun aku merengek memekik.
Tak apalah.
Bertemu kamu, di mimpi, tak pernah ku anggap sebagai bunga tidur.
Itu cara Tuhan mempertemukan aku denganmu, mungkin(?)

Rabu, 14 Mei 2014

Hujan

Langit sepertinya sedang kecewa.
Lihatlah dia menumpahkan isi kepalanya.
Lewat hujan dia menyuarakan perihnya.
Meruahkan segala tangis dan teriakan-teriakan.
Langit habis dikhianati oleh semestanya, mungkin(?)

Kalau kamu, yang ku cari saat hujan menumpahkan resahnya.
Maka kamu, orang penting di hidupku.
Aku akan memberi apapun itu agar tidak sendirian mendengar suara hujan yang berlomba-lomba menyakitiku.
Aku akan menukar apapun untuk tetap diam didekapmu saat hujan menari-nari dikepalaku.
Aku akan melakukan apapun yang bisa menenangkanku saat hujan berdesakan membuatku sulit bernafas.

Kita pernah tenggelam dalam riuhnya kecipak hujan.
Sekarang, hujan kembali menunjukkan keangkuhannya.
Menyerangku sendirian yang sudah tanpamu.
Apa yang harus ku lakukan?

Aku pantas mendapatkan semua ini.
Tidak ada tempat untuk ku berlari.
Sebelum ada kamu pun aku sudah terbiasa ditikam oleh suara hujan itu sendiri.
Memintamu kembali, sama seperti meminta hujan untuk turun tanpa suara.

(Malang, 14th May)

Selasa, 13 Mei 2014

Penguasa

Apa jadinya jika semesta kehilangan kekuasaannya?
Apa jadinya jika semesta kehilangan penguasanya?
Dan apa jadinya jika sebuah negara tidak memiliki penguasa?
Akan sangat berantakan sekali, bukan?
Bumi rusak, bumi hancur.
Peperangan terjadi sana sini.
Tidak ada damai. Tidak ada ketenangan.
Aku kehilangan penguasaku.
Bisa bayangkan bagaimana aku sekarang?

Mendung

Jenuh, keluhmu.
Keluarlah sejenak dari kepalaku kalau begitu,
tapi jangan jauh-jauh, nanti kau terhanyut dengan kehidupan indah lainnya diluar kepalaku.

Sembari berjalan-jalan, aku menantimu disini.
Mencoba bersahabat dengan rindu. Belajar meyakini apa yang ku nanti.
Ketahuilah, setelah lima ratus sekian hari,
bahagia dan rinduku masih berlomba-lomba menari-nari.

Semakin membuncah tiap harinya.
Tak pernah sedikitpun berkurang.
Aah, kau sungguh semesta kesayanganku.

Sampai kau mengenal pedang dan belajar bagaimana menggunakannya.
Berkali-kali, kau tikam aku.
Kau robek kepalaku dengan pedang itu,
Hanya untuk melepaskan diri dari kepalaku.

Meski dengan jumawa kau tinggalkan aku,
Meski saat kau temukan bahagia diluar kepalaku,
Aku tidak mati, tidak akan, sayang.
buncahan rinduku terhadapmu tidak akan hilang.

(Malang, 13rd May. Ditulis dengan mata mendung dan cuaca yang mendung.)

Kamis, 08 Mei 2014

Kutu

Kamu tahu kutu? Iya, itu kamu.
Kecil kayak upil tidak beraturan berantakan.
Datang-datang bikin gatel, trus seenaknya pergi ninggalin luka.
Lukanya perih, membekas ga bisa hilang pula.
Kalo ga membekas ya gapapa.
Kamu kutu. Kutu busuk.

Senin, 05 Mei 2014

Tunggu

Tuan, jarak kita semakin jauh. Sepanjang dosamu dan dosaku.
Entah berapa hasta panjangnya. Tak terhitung, tak terkira.
Tuan, air mata sudah tidak menggantung lagi dikelopak.
Tak perlu ku tunggu tumpahannya menyusuri wajah muramku.
Doa baik selalu terpanjatkan untukmu.
Aku inginkan pulangmu, sebab kehilangan mulai mengusik kepalaku.
Rindu sangat menyesakkanku.
Memaksa raga untuk pergi mencarimu.
Babak belur dadaku dibuatnya.
Namun seperti katamu, ‘Tunggu’.
Aku disini untukmu, karena aku tidak tahu harus kemana.
Takut tersesat karena peta pulangku ada di kamu.
Kuselipkan diam-diam ditengkukmu.
Semoga bisa kau temukan saat kau mulai tersesat dan rindu pulangmu.

Jumat, 02 Mei 2014

Mendua

Tentang aku, yang berani mendua. Mendua hati, dan raga.
Tentang kekasihku, yang selalu sibuk dengan isi kepalanya, dan dengan hidupnya sendiri.
Tentang kekasihku yang lainnya, yang selalu ingin bersamaku, sangat menginginkanku.
Sehari menghabiskan waktu bersenang-senang dengan dua wanita berbeda.
Sehari bercinta dengan dua wanita yang berbeda.
Tentang aku yang tidak bisa memutuskan harus menetap pada siapa.
Dan tentang aku yang pada akhirnya harus memilih, wanita mana yang pantas mendampingi aku.
Ahh, serakah sekali. Sesungguhnya aku yang tidak pantas didampingi mereka.
Bisakah mereka berdua ku pilih? Bisakah dua-duanya ku miliki?