Aku punya ketakutan yang baru. Ketakutan penerimaan atas perpisahan
kita. Kau memiliki kekuatan yang terlalu berlebihan untuk mencabikku. Habis-habisan
aku disakiti, olehmu yang terlalu ku cintai. Salahku, memang, yang meminta
bahagia terlalu berlebihan dan tidak ingin menerima sedikitpun perih yang
sesekali tertoreh. Tentang ketakutan akan penolakan. Karena katamu tidak bisa
lagi aku dipercaya dalam urusan percintaan. Dan ku niatkan, jika kini aku
ditawari rasa yang serupa dengan rasa saat pertama kau menghampiriku, aku tidak
akan menerimanya. Aku takut tak bisa berhati-hati, dan menyebabkan retak lagi
potongan hati yang sebelumnya sudah hampir hancur.
Pada awalnya, berkali bahagia selalu berkumandang, membuat semesta iri
melihat kita. Namun sejak airmata sering tertumpah karenamu, aku tahu, kau
bukanlah orang yang diberikan Tuhan untuk menemukanku. Kau hanya menjadi
peretak hatiku. Percayaku tidak pernah penuh padamu, setengah pun tidak.
Aku harus mengasingkan diriku, aku tidak ingin dicintai oleh siapapun. Aku
harus membanting pintu menguncinya rapat-rapat dan menyembunyikan kuncinya
dibalik bantalku.
Luka ini ku anggap sebagai rasa yang akan mengekal. Cintaku, tidak akan
pernah kubiarkan muncul kepermukaan. Ia hanya akan semakin membuatku lemah, dan
Ia pula yang akan membuat orang yang mencoba-coba untuk mencintaiku retak
hatinya.
Tak ingin aku salah melangkah. Karena kau pernah membuatku sangat patah. Tak
tersembuhkan. Seumur hidup tak menjadi jaminan. Aku tak pantas lagi menerima,
dan diterima.
Aku tidak akan pernah bisa membereskan ruangan yang penuh luka karenamu untuk
mempersilahkan penghuni baru lagi, kalau-kalau mereka menghampiri. Oh, aku
lupa. Tidak akan ada yang bisa masuk, tidak akan ada yang bisa menemukan
kuncinya.
Aku merangkak, menyeret diri beserta patahan-patahan bahagia karenamu. Ingin
menyembuhkan diri, tapi sangat ku sayangkan jika patahan itu meninggalkan
ragaku. Patahan itu yang menemani aku, saat rindu sangat mengoyak hati. Kepalaku,
berontak ingin melepasmu. Tentang beberapa peristiwa patahnya hatiku, yang tak
akan pernah bisa ku usir, tak akan pernah bisa ku relakan.
Aku berkali-kali mencari bahagia untuk kepalaku sendiri, yang kemudian
baru kusadari, bahwa semua itu hanya penyangkalan atas kesendirian yang
akhirnya harus ku telan mentah-mentah. Tentang malamku yang tidak akan mendengar
suaramu lagi.
Lucunya, sekian ribu patahan yang kau torehkan. Cintaku masih mengental
padamu.