Rabu, 10 Juli 2013

Untukmu



Teruntuk lelakiku,
Aku sudah sangat sering menitip air bening di bahumu yang tak kuat lagi menggantung di kelopak mata.
Saling berdekap, mendekap semua bahagia dan luka yang biasa kita terbarkan.

Teruntuk lelakiku,
Tak pernah jenuh aku menghirup semua lelah di tengkukmu.
Menelan mentah-mentah luka yang kau sisipkan di bibirku saat bercumbu.
Menahan memarnya batin saat kita tak bisa lagi merengkuh.

Teruntuk lelakiku,
Pelukmu sudah menjadi legenda.
Hampir usang termakan duka.
Semesta tak lagi cemburu melihat kita.

Teruntuk lelakiku,
Ingat kapan terakhir kita menari sampai letih?
Ingat kapan terakhir kita tertawa sampai tertatih?
Tak ada yang mengerti tentang tarian kita.
Tak ada yang tahu ada apa dibalik tawa kita yang kian menggempita.
Selain kita.

Teruntuk lelakiku,
Semua memang tak seindah ketika pertama kali kita bercumbu.
Tak lagi mudah, semudah meminta hujan gugur ke bumi tanpa suara.
Kepala kian disibukkan ditienggelamkan dengan pikiran masing-masing.
Kita tidak menyadarinya, atau kamu(?).

Teruntuk lelakiku,
ingatkah percakapan-percakapan yang selalu kita udarakan dulu,
percakapan tengah malam buta itu selalu ku amini,
entah apakah kamu juga mengamini.

Apa ini tanda akhir?
Aku tidak berani membayangkan seperti apa akhirnya kita nanti.
Kita mencintai dengan sangat baik, pada awalnya.
Aah,
Aku harap ini hanyalah permulaan.
Iya, permulaan yang meremas hati dan batin.
Apakah kita akan menemukan akhir yang baik?
Aku hanya berharap,
kita akan terus mencintai dengan baik nantinya.
Bukan begitu, lelakiku?