Teruntuk lelakiku,
Aku sudah
sangat sering menitip air bening di bahumu yang tak kuat lagi menggantung di
kelopak mata.
Saling
berdekap, mendekap semua bahagia dan luka yang biasa kita terbarkan.
Teruntuk lelakiku,
Tak pernah
jenuh aku menghirup semua lelah di tengkukmu.
Menelan mentah-mentah
luka yang kau sisipkan di bibirku saat bercumbu.
Menahan memarnya
batin saat kita tak bisa lagi merengkuh.
Teruntuk lelakiku,
Pelukmu sudah
menjadi legenda.
Hampir usang
termakan duka.
Semesta tak
lagi cemburu melihat kita.
Teruntuk lelakiku,
Ingat kapan
terakhir kita menari sampai letih?
Ingat kapan
terakhir kita tertawa sampai tertatih?
Tak ada yang
mengerti tentang tarian kita.
Tak ada yang
tahu ada apa dibalik tawa kita yang kian menggempita.
Selain kita.
Teruntuk lelakiku,
Semua memang
tak seindah ketika pertama kali kita bercumbu.
Tak lagi
mudah, semudah meminta hujan gugur ke bumi tanpa suara.
Kepala kian
disibukkan ditienggelamkan dengan pikiran masing-masing.
Kita tidak
menyadarinya, atau kamu(?).
Teruntuk
lelakiku,
ingatkah
percakapan-percakapan yang selalu kita udarakan dulu,
percakapan
tengah malam buta itu selalu ku amini,
entah apakah
kamu juga mengamini.
Apa ini
tanda akhir?
Aku tidak
berani membayangkan seperti apa akhirnya kita nanti.
Kita mencintai
dengan sangat baik, pada awalnya.
Aah,
Aku harap
ini hanyalah permulaan.
Iya, permulaan
yang meremas hati dan batin.
Apakah kita
akan menemukan akhir yang baik?
Aku hanya
berharap,
kita akan
terus mencintai dengan baik nantinya.
Bukan begitu,
lelakiku?