Seringnya ku
mengikat kesedihan di mulutku,
mengunyah
lamat-lamat agar mudah untuk ku telan.
Tak sadar bahwa
beberapa bagian yang masih liat perlahan mengendap di bawah permukaan dan
terkadang memaksa lidahku untuk memuntahkannya.
Beberapa kali
aku mengoyak secarik kertas yang penuh aksara kehampaan,
dan membuangnya
bersama secarik yang lain.
Sampai aku
beranjak pun kau tak pernah sadar bahwa rindu yang menemanimu mengandung
patahan-patahan pilu yang tak bisa ku ungkapkan.
Aku tahu di
balik cinta akan selalu ada air mata yang bergelayut di mata saat aku merengek
agar kau mengurungkan niatmu untuk pergi berlenggang meninggalkanku.
Dan aku
tersadar bahwa pelukanmu sungguh penenang jiwaku.
Tapi pelukan
itu kau hadiahkan padaku agar aku tidak meraung-rauang memintamu untuk tetap
tinggal.
Pelukanmu tak
abadi, cintamu pun.
Ketiadaan yang
memenuhi dada mulai meledakkan air mataku.
Kau semakin
menyengsarakanku.
Kau menyeruput
diammu dan mengudarakan sisa pilu yang belum kau berikan padaku.
Aku mendangak
mengusap airmata,
kau tersenyum
penuh kemenangan.
Aku tersenyum
menutupi pedih.
Kita pulang.
Pilu ikut
besertaku.