Rabu, 05 Oktober 2016

Pernah

Tidak ada kata pisah. Kita menjauh sebagaimana seharusnya. Dari awal memang tidak ada kata atau janji untuk saling mengikat. Saat kita saling meninggalkan, tidak ada yang bisa menahan langkah kita. Tidak ada yang bisa diberatkan dari hubungan yang memang tidak terjelaskan sebelumnya. Sekian ratus hari kita habiskan bersama. Entah kapan awalnya, akhirnya kapan pun aku tidak tahu pasti. Yang pasti, kita kembali tidak menyapa, tidak mengenal seperti saat pertama. Di dunia nyata, pun di dunia maya. Aku tidak menyayangkan, kamu pun. Sehingga tidak ada yang kembali ke jalan kita kemarin. Kamu tidak menunggu, aku pun. Kita tidak bersepakat, tidak juga saling menjanjikan. Aku tidak merasa ditinggalkan. Perasaan kecewa atau patah hati, tidak kurasakan. Sungguh. Aku pun kebingungan karenanya. Tidak ada marah pun sedih. Hanya saja, dari sekian ratus hari tersebut, sesekali aku teringatkan. Entah itu sebuah tempat, sebuah lagu, atau sebuah pesan suara yang ternyata masih tersimpan. Apa kamu juga demikian? Tidak banyak yang tahu tentang kita. Hanya sekepalan tangan dari temanku yang mengenalmu, dan mengira kita hanya sekadar teman. Sementara semua temanmu, tahu tentang kita. Tidak adil memang. Dan selalu kamu permasalahkan, tentang aku yang sulit sekali membawamu ke lingkungan pertemananku.
Ku pikir, semuanya sudah ku hilangkan. Foto, pesan-pesanmu, bahkan kontakmu. Kecuali ingatan tentangmu, aku sengaja tidak menghapusnya, karena tidak ada ingatan yang benar-benar terlupakan. Dia hanya kubiarkan menumpuk, kemudian tenggelam oleh bahagia-bahagia lainnya. Aku bukan manusia yang tidak tahu diri. Aku ingat semua buncahan bahagia dan perih yang sesekali kau torehkan. Masih melekat semua tempat-tempat yang pertama kali aku atau kita kunjungi berdua. Perlakuanmu istimewa. Cemburumu tidak ada obat. Dan posesifmu, meresahkan. Tapi aku jadi tahu, bagaimana rasanya diinginkan. Yang selalunya aku rasakan untuk kekasih-kekasihku sebelumnya. Risih memang, tapi begitu caramu menjaga. Prinsipmu tak tergoyahkan oleh apapun. Aku mengerti tentang pendirianmu, dan tidak sedikitpun mencoba meruntuhkannya. Kamu membentuk aku menjadi pribadi yang bertolak belakang sifatnya dari adat yang mengalir turun temurun dari keluargamu. Aku kewalahan menuruti pintamu, tapi aku tahu, aku tidak sekadar menurut tanpa tahu apa itu baik atau tidak untukku, untuk kita. Kamu yang selalu bisa melenakan dengan suara dan gitar tuamu. Suara yang sekian ratus hari menjadi favoritku. Kamu yang serba bisa. Kamu yang selalu pertama maju di depan, dalam hal apapun itu. Aku baru mengerti, betapa kamu sungguh memiliki arti. Tiga ratus sekian hari, rasanya singkat sekali. Aku tidak sedang menyesali, aku hanya mengingat kembali, betapa hidupku pernah dipertemukan dengan orang baik yang paling mengerti. Walau pada akhirnya, harus terlepas. Tanpa ada yang tahu mengapa dan apa alasannya. Aku tidak ingin mencari tahu, tidak ingin mengulang. Semoga kita selalu dilimpahkan bahagia oleh semesta.