Tulisan ini, kutulis atas desakan rindu yang sangat sulit terbendung. Memenuhi
kepalaku sampai sulit berpikir dengan baik. Mengapa kutulis? Mengapa tidak
disuarakan? Mengapa tidak diutarakan?
Jadi begini, sekian puluh hari, kita tak pernah bertatap lagi. Sekian belas
hari, suaramu tak pernah kudengar lagi. Bahkan bayangmu, sudah tak lagi
mengikuti kemanapun aku. Bagaimana cara aku mengungkapkannya?
Dadaku sesak karena rindu yang berisik sekali, mendesak dan beranak-pinak
menyuruhku mencari dimana kamu berpijak untuk berbisik “Aku merindukanmu
setengah mati”.
Jarak kita menyesakkan. Tuhan pun mungkin muak karena pintaku padanya
selalu hal yang sama. Aku menantikan keajaiban Tuhan untuk mempertemukan kita. Jika
bisa, mempersatukan kita kembali. Apakah doaku sangat tidak memungkinkan untuk
dipenuhi? Apa aku tidak pantas untuk keajaiban yang kuminta tersebut? Aku hanya
memantaskan diriku dihadapan-Nya seperti manusia lainnya. Masakan ada patokan
untuk menerima sebesar apa keajaiban yang akan menimpaku nanti?
Aku berharap, tetap berharap kamu kembali membisikkan “Aku pulang”
ditelingaku yang sungguh lelah membendung rindu padamu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar