Selasa, 24 Juni 2014

Mengejarmu

Sudah seratus hari sekian aku tidak pernah melihatmu. Sama sekali tidak tahu kabarmu. Seperti apa rupamu? Adakah kumis tipis bertengger disana? Atau selalu kamu cukur saat penampilanmu kau rasa sudah tidak memukau lagi? Entah sampai kapan kamu tidak ingin melihat wajahku. Sekian juta doa yang kurapalkan pada semesta agar kau datang mencariku, menemuiku. Tidak juga ada tanda-tanda kau ingin menemuiku. Aku takut mencarimu lagi. Takut akan kata-katamu yang akan merobekku lagi.

Sampai aku harus berlari ke kediaman Dewi Anjani, mencoba melawan egoku sendiri untuk meraihnya. Mendaki gunung yang sudah ratusan tahun menjadi rumah nyamannya. Disana, tempat tinggi yang menurutku bisa lebih dekat dengan semesta. Yang pikirku, semesta bisa lebih mendengar pintaku. Sungguh-sungguh kurapalkan doa untukmu, berharap kamu pun merindukanku, dan segera mencariku.
Lagi-lagi, tidak juga restu diberikannya padaku. Sekian ratus hari membendung rindu. Kamu pikir aku lelah? Tidak. Tidak akan. Yang pasti, aku harus menemuimu walau harus dihadapkan dengan penolakan dan muram wajahmu.

Sama seperti saat pertama aku bertandang ke kediamanmu. Debar dadaku sangat sulit kusuruh tenang. “Sebentar lagi sampai”. Kata-kata itu berulang terucap sebagai penenang saat memasuki gang rumahmu. Kulihat pagar dan pintu rumah terbuka. Aku masuk, masih dengan tangan dan bibir yang bergetaran. Entah mengapa ini terlihat berlebihan sekali. Kulihat adik perempuanmu berdiri mematut dicermin.
“Alga, mana?”
“Sudah berbulan-bulan dia pergi.”
“Kemana? Kapan kembali lagi?”
“Tidak akan pulang sebelum menemukan apa yang dia cari”.

Apa? Apa yang kamu cari? Kebingungan membawaku kekamarmu. Kamar yang dulu penuh cerita. Semacam ada pemutar video otomatis didalamnya. Semua cerita yang pernah terekam dikamar ini, muncul. Satu-persatu menari-nari. Sungguh menyesakkan. Mataku menelanjangi isi kamarmu. Masih sama seperti dulu. Ah, ada yang berubah. Namaku dan namamu, yang dulu kutulis di tembok dekat kasurmu, supaya sebelum dan sesudah tidurmu, kamu bisa melihat nama itu, agar selalu ingat akan kita setiap harinya, sudah tidak ada. Tubuhku bergetar pelan. Bulir hangat tumpah. Aku terlalu banyak berharap untuk bisa menemuimu hari ini. Sangat berharap agar semesta kali ini saja mau memberikan restunya padaku.

Terdengar suara ribut-ribut dari luar. Kubersihkan wajahku untuk mencari tahu ada apa. Beberapa mobil sudah bertengger didepan rumah. Ibumu keluar dari kamar tergopoh-gopoh. Sama sekali tidak menyapaku yang kembali mematung di sebelah adikmu.
“Ayo, sudah cantik. Kakakmu pasti akan pangling kalau kamu terlalu cantik seperti ini.”
“Kakakmu? Kakak siapa?”
Setahuku, hanya kamu, Alga, satu-satunya kakak yang dia punya
“Ludia, kakak yang mana?!”

Dia tidak memedulikanku yang baru saja memekik. hanya menatap, lalu melenggang pergi. Entah siapa yang menggerakkan langkahku, akupun segera mengikuti mereka dari belakang. Kata-kata Ibumu tadi, terngiang lagi.
“Mereka akan menemui Alga!” Teriakku.
Oh Tuhan, Ludia, mengapa kamu pun menghalangiku untuk bertemu dengan kakakmu? Satu jam perjalanan tidak terasa akibat kepalaku yang terlalu banyak menebak-nebak. Mulai memasuki gerbang pekarangan. Aku terdiam membaca tulisan yang tertera. Semua hal yang tidak baik mulai memenuhi kepalaku. Kuikuti mereka yang keluar dari mobil. Ramai sekali disana. Mungkinkah itu dia? Tidak mungkin! Mataku tak bisa kubendung lagi. Sesak dadaku sampai sulit bernafas. Tibalah aku bersama mereka didepan Alga. Aku mulai menangis sejadi-jadinya.
“Kak, hari ini hari seratusmu. Bagaimana disana? Bahagiakah kakak dengan kak Wilvy? Pencarianmu tidak pernah sia-sia, kak. Aku merindukanmu” isak Ludia dalam katanya.
Aku ingin merangkulnya, tapi lengan Ibumu sudah melingkar padanya.
Tunggu, dengan kak Wilvy? Aku? Ada apa ini sebenarnya. Mataku tak sengaja terlayang pada makam disebelah Alga. Tertera namaku dengan jelasnya. Namaku, dan namamu. Tanggal yang berbeda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar