Semesta punya rahasianya sendiri dalam
mempertemukan kita. Untuk
menjadi satu, kekerasan hati harus dilebur agar bisa membaur. Kita
terbentur
oleh ego dan kemauan yang masih belum bisa melewati batas suatu jalur.
Kita semakin berjalan mundur. Jarak membuat rasamu mengendur, dan
cintamu sudah terlihat mengabur. Bahagia yang dulu diumbar kini telah
luntur. Aku tidak akan mengorbankan hati untuk berjuang memperbaiki kita
yang benar-benar sudah hancur. Tidak ada
yang bisa mendamaikan ingin kita. Tidak ada yang bisa menyatukan isi
kepala
kita. Kita selalu melihat hal dari sisi yang berbeda. Lebih meninggikan
ego
tanpa peduli nasib hati. Hingga menyisakan satu korban diakhir cerita
ini
nantinya. Di sini, ada aku, dan keras kepalaku. Ingin menjadikan rasa
yang tidak
hanya menjadi sebuah kata. Menjadikan cerita ini sepanjang masa dengan
bahagia
tanpa luka. Lalu, ada kamu dan juga keras kepalamu, malah ditambah
dengan kerasnya hatimu. Yang katamu hanya akan
mengikuti alur, sebuah arus yang tidak diketahui akan bermuara di mana
dan
seperti apa.
Mulanya kita bersepakat, ke mana arah kaki melangkah, tak
jarang kita melompat. Persimpangan terlewati, keputusan besar yang disepakati,
membuat ego dan hati merasa dikorbankan. Hingga kita dipertemukan oleh
persimpangan yang lain. Sepertinya sudah lelah mengikis ego dan tidak ingin
semakin mengorbankan hati. Akhirnya jalan tengah yang dipilih. Berpisah. Kepala
riuh, airmata berdesakan. Kepala mengingatkan,
bahwa, ada beberapa hal yang memang sudah berubah. Pemikiran yang tidak
pernah sama, ternyata tidak bisa saling beriringan. Kamu menggenggam dan
berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Baik-baik saja dengan segala
perubahan
ini?
Kesepakatan ini nyaris membentuk keputusasaan. Aku kira,
kita cukup berarti untukmu. Maka kupertahankan kita setengah mati. Yang kukira
kamu pun sedang melakukan hal yang sama. Janjimu yang mengudara, kini hanya sekadar
kata. Sementara aku, yang sudah terlanjur mengukir semua angan, harus rela
meruntuhkan semuanya itu lagi. Pada kepalan tangan kita yang erat, aku mulai
memercayakan masa depanku. Masa depan yang mau tidak mau harus kutata lagi
kembali. Masing-masing kita harus membuang segala impian yang pernah terpahat,
dan lalu melangkah meninggalkan dengan berat. Harus kutanggung kecewanya sebuah
perasaan. Ego yang terpangkas demi mempertahankan kita, tidak ada artinya.
Sulit untukku benar-benar meninggalkan, karena
kamu sudah menjadi tujuan akhir yang ternyata harus berakhir. Kamu yang dulu
menjadi penawar luka, malah menjadi pencipta luka. Selepas tangis
ini, kuharap, aku bisa lebih merelakan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar