Sabtu, 25 Februari 2017

Sepakat


Semesta punya rahasianya sendiri dalam mempertemukan kita. Untuk menjadi satu, kekerasan hati harus dilebur agar bisa membaur. Kita terbentur oleh ego dan kemauan yang masih belum bisa melewati batas suatu jalur. Kita semakin berjalan mundur. Jarak membuat rasamu mengendur, dan cintamu sudah terlihat mengabur. Bahagia yang dulu diumbar kini telah luntur. Aku tidak akan mengorbankan hati untuk berjuang memperbaiki kita yang benar-benar sudah hancur. Tidak ada yang bisa mendamaikan ingin kita. Tidak ada yang bisa menyatukan isi kepala kita. Kita selalu melihat hal dari sisi yang berbeda. Lebih meninggikan ego tanpa peduli nasib hati. Hingga menyisakan satu korban diakhir cerita ini nantinya. Di sini, ada aku, dan keras kepalaku. Ingin menjadikan rasa yang tidak hanya menjadi sebuah kata. Menjadikan cerita ini sepanjang masa dengan bahagia tanpa luka. Lalu, ada kamu dan juga keras kepalamu, malah ditambah dengan kerasnya hatimu. Yang katamu hanya akan mengikuti alur, sebuah arus yang tidak diketahui akan bermuara di mana dan seperti apa.
Mulanya kita bersepakat, ke mana arah kaki melangkah, tak jarang kita melompat. Persimpangan terlewati, keputusan besar yang disepakati, membuat ego dan hati merasa dikorbankan. Hingga kita dipertemukan oleh persimpangan yang lain. Sepertinya sudah lelah mengikis ego dan tidak ingin semakin mengorbankan hati. Akhirnya jalan tengah yang dipilih. Berpisah.  Kepala riuh, airmata berdesakan. Kepala mengingatkan, bahwa, ada beberapa hal yang memang sudah berubah. Pemikiran yang tidak pernah sama, ternyata tidak bisa saling beriringan. Kamu menggenggam dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja. Baik-baik saja dengan segala perubahan ini?
Kesepakatan ini nyaris membentuk keputusasaan. Aku kira, kita cukup berarti untukmu. Maka kupertahankan kita setengah mati. Yang kukira kamu pun sedang melakukan hal yang sama. Janjimu yang mengudara, kini hanya sekadar kata. Sementara aku, yang sudah terlanjur mengukir semua angan, harus rela meruntuhkan semuanya itu lagi. Pada kepalan tangan kita yang erat, aku mulai memercayakan masa depanku. Masa depan yang mau tidak mau harus kutata lagi kembali. Masing-masing kita harus membuang segala impian yang pernah terpahat, dan lalu melangkah meninggalkan dengan berat. Harus kutanggung kecewanya sebuah perasaan. Ego yang terpangkas demi mempertahankan kita, tidak ada artinya.
Sulit untukku benar-benar meninggalkan, karena kamu sudah menjadi tujuan akhir yang ternyata harus berakhir. Kamu yang dulu menjadi penawar luka, malah menjadi pencipta luka. Selepas tangis ini, kuharap, aku bisa lebih merelakan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar